Kartago terus menerus berada dalam situasi perlawanan dengan Republik Romawi, yang menyebabkan serangkaian konflik yang dikenal sebagai Perang Punisia, Kartago hancur dan kemudian diduduki oleh pasukan Romawi. Hampir semua negara kota Fenisia lain dan yang dulunya merupakan jajahan Kartago jatuh ke tangan Romawi mulai saat itu.
Perluasan Pemukiman Fenisia
Untuk menyediakan tempat peristirahatan bagi armada kapal pedagang, untuk mempertahankan monopoli Fenisia di sumber daya alam daerah, atau untuk melakukan perdagangannya sendiri, warga Fenisia mendirikan kota-kota kolonial di sepanjang pantai Mediterania. Mereka dirangsang untuk mendirikan kota-kota mereka oleh kebutuhan untuk revitalisasi perdagangan untuk membayar upeti kepada Tirus, Sidon, dan Byblos oleh suksesi kerajaan yang memerintah mereka dan oleh karena rasa takut terhadap kolonisasi Yunani di bagian Mediterania tersebut yang cocok untuk perdagangan. Warga Fenisia kekurangan populasi atau keperluan untuk mendirikan kota-kota mandiri di luar, dan kebanyakan kota memiliki penduduk kurang dari seribu, tapi Kartago dan beberapa kota lainnya berkembang menjadi kota-kota besar.
Kurang lebih 300 koloni didirikan di Tunisia, Maroko, Aljazair, Iberia, dan dengan tingkat lebih rendah di pantai kering Libia. Warga Fenisia mengendalikan Siprus, Sardinia, Korsika, dan Kepulauan Balearik, serta sedikit harta benda di Pulau Kreta dan Sisilia. Pemukiman berikutnya berada dalam konfilik terus menerus dengan Yunani. Warga Fenisia berhasil mengendalikan semua wilayah Sisilia untuk beberapa waktu. Seluruh wilayah kemudian berada di bawah kepemimpinan dan perlindungan Kartago, yang pada gilirannya mengutus orang-orangnya untuk membangun kota-kota baru atau untuk memperkuat pihak yang menolak Tirus dan Sidon.
Koloni pertama didirikan pada dua jalur ke sumber mineral Iberia, sepanjang pantai Afrika Utara dan di Sisilia, Sardinia dan Kepulauan Balearik. Pusat dunia warga Fenisia adalah Tirus, yang berfungsi sebagai pusat ekonomi dan politik. Kekuatan kota ini berkurang setelah banyak pengepungan dan akhirnya dihancurkan oleh Alexander Agung, dan peran sebagai pemimpin diberikan ke Sidon, dan akhirnya ke Kartago. Setiap koloni membayar upeti baik kepada Tirus atau Sidon, tapi tak satupun yang memiliki kendali sebenarnya terhadap koloni-koloni. Hal ini berubah dengan munculnya Kartago, karena warga Kartago menunjuk pembesarnya sendiri untuk memerintah kota-kota dan Kartago memperoleh banyak kontrol langsung atas koloni-koloni. Kebijakan ini mengakibatkan sejumlah kota Iberia berpihak pada Roma selama Perang Punisia.
Perjanjian dengan Roma
Pada tahun 509 SM, sebuah perjanjian ditandatangani antara Kartago dan Roma, menunjukkan suatu pembagian pengaruh dan kegiatan perdagangan. Ini merupakan sumber pertama yang menunjukkan bahwa Kartago telah mendapatkan kendali atas Sisilia dan Sardinia.
Pada awal abad ke-5 SM, Kartago telah menjadi pusat perdagangan wilayah Mediterania Barat, posisi itu ditahan sampai kemudian digulingkan oleh Republik Romawi. Kota tersebut telah menaklukkan sebagian besar koloni lama Fenesia, seperti Hadrumetum, Utica, dan Kerkouane, menaklukkan suku-suku Libia (warga Numidia dan Kerajaan Mauretania menjadi lebih atau kurang merdeka), dan mengendalikan seluruh pantai Afrika Utara dari Maroko modern ke perbatasan Mesir (tidak termasuk Cyrenaica, yang akhirnya dimasukkan ke dalam Helenistik Mesir). Pengaruhnya juga telah diperluas ke Mediterania, mengambil alih Sardinia, Malta, Kepulauan Balearik, dan setengah bagian barat Sisilia, di mana benteng pesisir seperti Motya atau Lilybaeum menyimpan hartanya. Koloni-koloni penting juga telah didirikan di semenanjung Iberia. Pengaruh budaya mereka di Semenanjung Iberia didokumentasikan, tapi tingkat pengaruh politik mereka sebelum penaklukan oleh Hamilcar Barca masih diperdebatkan.
Perang Sisilia Pertama
Keberhasilan ekonomi Kartago, dan ketergantungannya pada proses pengiriman untuk melakukan sebagian besar perdagangan, menyebabkan terbentuknya angkatan laut Kartago yang kuat. Hal ini ditambah lagi dengan keberhasilan dan hegemoninya yang berkembang, membawa Kartago ke peningkatan konflik dengan orang-orang Yunani dari Syracuse, yang merupakan kekuatan besar lainnya yang bersaing untuk mengendalikan Mediterania pusat.
Pulau Sisilia, yang terletak di depan pintu Kartago, menjadi arena di mana konflik ini dimainkan. Dari awalnya, baik Yunani maupun Fenisia telah tertarik pada pulau besar tersebut, mereka mendirikan sejumlah besar koloni dan pos perdagangan di sepanjang pantainya, pertempuran telah terjadi di antara kedua pemukiman ini selama berabad-abad.
Pada tahun 480 SM, Gelo, pemimpin tiran dari Syracuse Yunani, didukung sebagian oleh negara kota Yunani lain, berusaha untuk menyatukan pulau ini di bawah pemerintahannya. Ancaman ini tidak dapat diabaikan, dan Kartago, mungkin sebagai bagian dari aliansi dengan Persia, kemudian terlibat kekuatan militer, di bawah kepemimpinan jendral Hamilcar. Hamilcar memiliki tiga ratus ribu orang, meski hampir berlebihan, seharusnya merupakan kekuatan tangguh.
Namun, pasukan Hamilcar berkurang (mungkin banyak) dalam perjalanan ke Sisilia karena cuaca buruk. Mendarat di Panormus (sekarang Palermo), Hamilcar menghabiskan 3 hari untuk reorganisasi paukan dan memperbaiki armadanya. Warga Kartago berbaris di sepanjang pantai ke Himera, dan berkemah sebelum terlibat dalam Pertempuran Himera. Hamilcar entah tewas dalam pertempuran atau bunuh diri karena malu. Akibatnya bangsawan menegosiasikan perdamaian dan menggantikan monarki lama dengan republik.
Perang Sisilia Kedua
Pada tahun 410 SM, Kartago telah pulih setelah kekalahan serius. Ia telah menaklukkan sebagian besar wilayah Tunisia modern, memperkuat dan mendirikan koloni baru di Afrika Utara. Walaupun pada tahun itu koloni Iberia memisahkan diri, yang memotong suplai utama perak dan tembaga Kargo, Hannibal Mago, cucu dari Hamilcar, memulai persiapan untuk merebut kembali Sisilia, sementara ekspedisi itu juga dipimpin ke Maroko dan Senegal, juga ke Atlantik.
Pada tahun 409 SM, Hannibal Mago berangkat ke Sisilia dengan kekuatannya. Dia berhasil menguasai kota-kota kecil Selinus (Selinunte modern) dan Himera sebelum kembali ke Kartago penuh kemenangan dengan rampasan perang. Akan tetapi musuh utamanya Syracuse tetap tak tersentuh, dan pada tahun 405 SM, Hanibal Mago memimpin ekspedisi Kartego kedua untuk mengklaim seluruh pulau. Namun kali ini ia bertemu dengan perlawanan sengit dan ketidakberuntungan. Selama pengepungan Agrigentum, pasukan Kartago dilanda wabah, Hannibal Mago sendiri mengalah untuk itu. Meskipun penggantinya, Himilco, berhasil memperpanjang operasi militer dengan menghancurkan pengepungan Yunani, menguasai kota Gela dan berulang kali mengalahkan tentara Dionysius yang merupakan tiran baru Syracuse, dia juga dilemahkan oleh wabah dan dipaksa untuk memohon perdamaian sebelum kembali ke Kartago.
Pada tahun 398 SM, Dionysius telah memperoleh kembali kekuatannya dan melanggar perjanjian damai, menyerang kubu Kartago di Motya. Himilco menjawab tegas, memimpin sebuah ekspedisi yang tak hanya mengklaim kembali Motya, tapi juga menguasai Messina. Akhirnya, ia mengepung Syracuse itu sendiri. Pengepungan itu hampir berhasil sepanjang tahun 397 SM, tapi pada 396 SM lagi-lagi wabah melanda pasukan Kartago, dan mereka runtuh.
Sisilia setelah itu telah menjadi obsesi bagi Kartago. Selama 60 tahun berikutnya pasukan Kartago dan Yunani terlibat dalam serangkaian pertempuran terus menerus. Pada tahun 340 SM, Kartago telah sepenuhnya ditekan hingga ke sudut barat daya pulau itu, dan perdamaian yang tak tenang memerintah atas pulau itu.
Perang Sisilia Ketiga
Pada tahun 315 SM, Agathocles, (gubernur administrasi) sang tiran dari Syracuse, merebut kota Messene (sekarang Messina). Pada tahun 311 SM ia menyerbu kepemilikan terakhir Kartago di Sisilia, melanggar persyaratan perjanjian damai saat itu, dan mengepung Akragas.
Hamilcar, Cucu dari Hanno sang Pelaut, memimpin respon warga Kartago dan menemukan kesuksesan yang sangat besar. Pada tahun 310 SM, ia menguasai hampir seluruh Sisilia dan telah mengepung Syracuse itu sendiri. Dalam keputusasaan, Agathocles diam-diam memimpin ekspedisi 14.000 orang ke daratan, berharap untuk menyelamatkan pemerintahannya dengan memimpin serangan balik ke Kartago itu sendiri. Dalam hal ini ia berhasil. Kartago dipaksa untuk memanggil Hamilcar dan sebagian besar pasukannya dari Sisilia untuk menghadapi ancaman baru dan tak terduga. Meskipun tentara Agathocles akhirnya dikalahkan pada tahun 307 SM, Agathocles sendiri lolos kembali ke Sisilia dan mampu menegosiasikan perdamaian yang menjaga Syracuse sebagai benteng kekuasaan Yunani di Sisilia.
Perang Pyrrhic
Antara tahun 280 dan 275 SM, Pyrrhus dari Epirus melancarkan dua operasi militer besar di Mediterania barat, yaitu satu melawan kekuatan yang muncul dari Republik Romawi di Italia selatan, dan satunya lagi terhadap Kartago di Sisilia.
Pyrrhus mengirim sebuah pengawalan depan ke Tarentium di bawah komando Cineaus dengan 3.000 infanteri. Pyrrhus membariskan pasukan utama di semenanjung Yunani dan terlibat dalam pertempuran dengan Tesalia dan tentara Athena. Setelah sukses awal gerakan tersebut Pyrrhus memasuki Tarentium untuk bergabung kembali bersama pengawalan depannya.
Di tengah operasi militer Italia-nya, Pyrrhus menerima utusan dari kota-kota Sisilia di Agrigentum, Syracuse, dan Leontini, meminta bantuan militer untuk menghapus dominasi Kartago atas pulau itu. Pyrrhus setuju, dan membentengi kota-kota Sisilia dengan tentara yang terdiri dari 20.000 infanteri dan 3.000 kavaleri dan 20 Gajah Perang, didukung oleh sekitar 200 kapal. Awalnya, operasi militer Pyrrhus di Sisilia melawan Kartago sukses, mendorong kembali pasukan Kartago, dan menguasai benteng kota Eryx, meskipun ia tidak mampu menangkap Lilybaeum.
Menindaklanjuti kekalahan ini, Kartago memohon perdamaian, tapi Pyrrhus menolak kecuali Kartago bersedia melepaskan sepenuhnya klaim terhadap Sisilia. Menurut Plutarch, Pyrrhus mengarahkan pandangan untuk menaklukkan Kartago itu sendiri, dan untuk tujuan ini, mulai merencanakan ekspedisi. Namun, perlakuan kejamnya pada kota-kota Sisilia dalam persiapannya untuk ekspedisi ini, dan eksekusinya terhadap dua penguasa Sisilia yang dia klaim telah berkomplot melawan dia, menyebabkan munculnya kebencian terhadap orang Yunani, sehingga Pyrrhus menarik diri dari Sisilia dan kembali untuk menangani peristiwa yang terjadi di Italia selatan.
Operasi militer Pyrrhus di Italia tidak meyakinkan, dan Pyrrhus akhirnya mundur ke Epirus. Bagi Kartago, ini berarti kembali ke status quo. Namun bagi Roma, kegagalan Pyrrhus untuk mempertahankan koloni di Magna Graecia berarti bahwa Roma menyerap mereka ke dalam lingkaran pengaruhnya, membawa lebih dekat ke dominasi utuh semenanjung Italia. Dominasi Roma akan Italia dan bukti bahwa Roma dapat mengadu kekuatan militernya dengan sukses melawan kekuatan internasional, akan membuka jalan ke konflik Roma dan Kartago di kemudian hari dalam Perang Punisia.
Perang Punisia
Ketika Agathocles meninggal pada tahun 288 SM, sebuah kompi besar tentara bayaran Italia yang sebelumnya bekerja padanya, tiba-tiba tidak lagi memiliki pekerjaan. Daripada meninggalkan Sisilia, mereka merebut kota Messana. Menamakan diri Mamertines (anak-anak Mars), mereka menjadi hukum bagi diri mereka sendiri, meneror daerah sekitarnya.
Mamertines menjadi ancaman bagi Kartago dan juga Syracuse. Pada tahun 265 SM, Hiero II, mantan jendral Pyrrhus dan tiran baru Syracuse, mengambil tindakan terhadap mereka. Dihadapkan pada kekuatan yang jauh lebih unggul, Mamertines terbagi menjadi dua faksi, satu meminta penyerahan kepada Kartago, yang lain lebih memilih untuk mencari bantuan dari Roma. Sementara Senat Romawi memperdebatkan tindakan yang terbaik, warga Kartago dengan penuh semangat setuju untuk mengirim garnisun ke Messana. Sebuah garnisun Kartago diijinkan masuk ke kota itu, dan armada Kartago berlayar ke pelabuhan Messanan. Namun, tak lama kemudian mereka mulai melakukan negosiasi dengan Hiero. Khawatir, Mamertines mengutus duta lain ke Roma meminta mereka untuk mengusir warga Kartago tersebut.
Intervensi Hiero telah menempatkan pasukan militer Kartago secara langsung ke saluran air sempit yang memisahkan Sisilia dari Italia. Selain itu, kehadiran armada Kartago memberi mereka kendali efektif atas saluran ini, Selat Messina, dan menunjukkan bahaya jelas ke Roma yang berjarak dekat dan kepentingannya.
Sebagai hasilnya, Majelis Romawi meskipun enggan untuk bersekutu dengan sekelompok tentara bayaran, mengirim pasukan ekspedisi untuk mengembalikan kendali Messana ke Mamertines.
Serangan Romawi pada pasukan Kartago di Messana memicu Perang Punisia pertama. Selama abad berikutnya, ketiga konflik besar abtara Roma dan Kartago akan menentukan jalannya peradaban Barat. Perang-perang tersebut termasuk invasi Kartago yang dipimpin Hannibal, yang hampir mencegah munculnya Kekaisaran Romawi.
Dalam tahun 266/265 SM bangsa Romawi, di bawah komando Regulus, mendarat di Afrika dan setelah mengalami beberapa kekalahan awal, pasukan Kartago akhirnya memukul mundur invasi Romawi.
Tak lama setelah Perang Punisia Pertama, Kartago menghadapi pemberontakan besar tentara bayaran, yang mengubah lanskap politik internal Kartago (membawa keluarga Barcid ke ketenaran), dan mempengaruhi kedudukan internasional Kartago, ketika Roma menggunakan peristiwa perang tersebut untuk mendasarkan klaim bahwa mereka merebut Sardinia dan Korsika.
Tweet |
Informasi/Berita tentang Kartago Kuno ini dipublikasikan pada hari Jumat, 03 Juni 2011